Kamis, 17 Februari 2011

Chauvinistik dalam Ranah Multikultural




"Menimba air di sumur yang berair warna-warni di mana sesungguhnya warnamu hanya satu, adalah seperti memetik bunga doa dalam taman hias yang beragam di kebun tak bertuan. Atau seperti memohon sesuatu yang sesungguhnya engkau tahu nantinya tak terkabulkan dalam agama. Jangan engkau rusak taman mungil sang dewi yang mengembus angin sepoi para nabi dan di balik kafir". 
 
NUSANTARA memiliki ragam kebudayaan, sebuah negara yang memiliki masyarakat multikultur, yang memerlukan jaminan dan penghormatan atas adanya keunikan dan kekhasan. Unik dan khas yang dimiliki oleh masing-masing kelompok dan atau golongan masyarakat untuk diakui dan korelatif.  

Nah, kemajemukan itu adalah dasar dalam konsep mengembangkan pilar-pilar ketatanegaraan. Artinya, pemerintah dituntut untuk bijak dalam mengelola kemajemukan sebagai cermin karakteristik yang dapat merekatkan sebuah keberagaman. Dalam bidang hukum pun kemajemukan dijadikan bahan acuan dasar dalam rangka pencapaian produk-produk hukum itu sendiri, dalam terminologi antropologi hukum (legal anthropology) yang berkorelasi dengan ideologi sentralisme (legal centralism) dan kemajemukan hukum (legal pluralism). 

Hukum secara universal akan mengatur dan membatasi barometer sikap yang berlebihan, seperti halnya rasa memiliki berlebihan yang terwujud dengan ragam makna dan aksi. Dalam konteks kemajemukan budaya, simpati dan empati yang mendalam dan atau dangkal dari setiap pendukung kebudayaan berada di barisan depan sebuah emosional dalam menafsirkan sebuah wacana atau sebuah polemik.  

Dalam konteks itu, tentunya berbagai permasalahan yang menyangkut ruang unsur-unsur dan wujud kebudayaan akan lebih bijak berpijak pada kearifan yang objektif, dalam arti kebijakan dalam mencairkan berbagai bentuk permasalahan yang diwujudkan atas dasar keberagaman. Yang nantinya akan mengacu pada keseimbangan, sehingga akan menutup relasi kuasa yang didominasi oleh kelompok dan atau golongan tertentu

Dengan adanya wacana kekinian, misalnya, yakni bagaimana polemik rencana akan adanya Rancangan Undang-undang Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP), yang secara dangkal diangkat ke permukaan dengan sangat prematur. Dengan analogi bahwa bagaimana hal tersebut menjadi seolah-olah darurat hanya karena ragam persepsi nilai suka atau tidak suka, seni atau tidak seni, moral atau amoral akan adanya goyangan ngebor, hingga kemudian dikorelasikan secara oposisi biner dengan wacana disintegrasi.  

Akhirnya ranah kesenian dimanipulasi sedemikian rupa secara politis oleh pejantan ambisi kuasa, yang perangainya seperti orator yang bisu tuli total. Ke mana lagi inklusivitas sebuah golongan atau kelompok yang selama ini didengungkan? Apakah inklusivitas bermetamorfosis lagi menjadi eksklusivitas? Sehingga multikulturalisme yang bergandeng esensi dengan pluralisme terancam karena adanya primordialisme dan sikap chauvinistik yang berlebihan?  

Polemik Berkesenian
Hanya berselang beberapa bulan, polemik berkesenian secara berurutan disengketakan hanya karena adanya tafsir kulktur yang berbeda, seperti: judul syair lagu, judul novel, dan sampai pada film "Sinta Obong". Permasalahan klasik itu pada dasarnya timbul karena adanya klaim individu-penggugat yang seringkali memposisikan dirinya sebagai individu atau kelompok yang mewakili keseluruhan, atau individu yang mengatasnamakan golongan tertentu, kamuflase yang subjektif.  

Dalam paradigma dan perspektif yang berbeda, muncul polemik baru tentang adanya norma yang kemudian dijadikan aturan dalam bingkai hukum kenegaraan, yang akhirnya dianggap hal yang mesti didukung (pro) di satu sisi dan di tolak (kontra) di sisi yang berbeda. Sebagai sebuah bahan diskusi tentu sangat menarik untuk dikaji namun akan menjadi chauvinistik jikalau dijadikan bahan pengantar bagi para politisi

Masalah yang mengkhawatirkan adalah gaya klasik individu atau kelompok ketika berorasi mengklaim diri atau kelompoknya mewakili keseluruhan. Ironisnya ini kemudian diracik propokatif oleh pejantan yang ambisi kekuasaan dengan pasang strategi untuk eksistensi individu atau kelompok dan atau golongannya
Hanya kearifan dan kebijaksanaan secara bersama yang mencairkan ragam tafsir dalam ragam implementasinya. Kita sadari bersama hal yang berhubungan dengan ragam budaya tentunya akan terus menjadi bahan acuan dalam langkah menuju sinergitas sebuah kebersamaan dalam keberagaman. Hukum sejatinya menjadi instrumen dalam mencapai dimensi keadilan, ketertiban dan kepastian, dengan tetap berdasar pada kemajemukan hukum dan sentralisme hukum, sehingga dapat mengelola kemajemukan secara harmoni dan seimbang.  

Putu Wisnu Nugraha Harta, S.Sos.
Alumni Antropologi FS Universitas Udayana
Bali.
(dipublikasikan Bali Post, Sabtu 11 Maret 2006)

Rabu, 16 Februari 2011

Mengingat kembali berita waktu itu...Sebuah Tanda...bukan seperti Crop Circle...(http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2005/2/19/b25.htm)

''Tapak Dara'' Dibuat Wong Samar dari Gunung Agung
 
Singaraja (Bali Post) -

Tiga
warga dari Desa Sibanun dan seorang warga dari Kloncing, Kecamatan Sawan, Buleleng, Kamis (17/2) sekitar pukul 22.30 wita tiba-tiba kerauhan. Peristiwa ini masih terkait dengan munculnya tanda-tanda gaib di pelinggih-pelinggih di Buleleng.
Tiga warga dari Sinabun yang kerauhan itu berlari menuju Pura Segara Sangsit. Sementara warga yang kerauhan dari Kloncing berlari ke Pura Segara Kerobokan. Sesampai di sana, mereka menunjukkan tingkah polah yang sulit disesuaikan dengan tingkah manusia. Mereka yang kerauhan itu mengaku utusan dari Gunung Agung yang ingin memperingatkan warga bahwa yang menorehkan tanda aneh itu adalah pasukan wong samar dari Gunung Agung. Mereka ingin memperingatkan manusia untuk sadar akan apa yang dihadapinya pada masa mendatang.
 
''Dari pawisik warga yang kerauhan, bahwa tanda coretan pamor itu adalah kerja dari wong samar yang ingin memperingatkan manusia akan posisinya saat ini,'' ucap Jero Mangku Alit Sulaba selaku pengempon Pura Pasupati Desa Sangsit, Kecamatan Sawan.
Menurut pamuwus warga yang kerauhan itu disebutkan bahwa tanda tapak dara itu adalah peringatan dari Hyang Kuasa atas tindakan manusia selama ini.
 
Ketua PHDI Bulelenng Ida Pandita Nabe Dwija Warsa Nawa Sandhi mengimbau agar masyarakat tidak panik dan resah dengan apa yang terjadi dengan coretan pamor itu. Bahkan, ia meminta jajaran Pemkab Buleleng menyikapi hal ini dengan lebih bijaksana. ''Semestinya, Bupati Buleleng sebagai orang nomor satu di Buleleng meminta pertimbangan atau nasihat kita terkait masalah ini. Namun, sejauh ini kami masih belum bisa berkoordinasi, sehingga belum mengeluarkan statemen resmi,'' katanya.
 
Ketua Kelompok Kajian Budaya Bali Utara Drs. I Gusti Ketut Simba saat diminta komentarnya terkait pencoretan beberapa pelinggih di merajan dan pelinggih itu menyatakan sangat percaya jika yang melakukan hal itu adalah bukan manusia biasa. ''Sangat sulit dibayangkan jika yang melakukannya orang biasa. Karena  diperlukan banyak orang dan banyak bahan untuk sampai menjangkau sekian lokasi di Buleleng,'' tandasnya. (kmb15)
 
''Tapak Dara'' di Polres Buleleng
MASYARAKAT
Buleleng hingga Jumat (18/2) kemarin masih memperbincangkan tanda gaib yang muncul di sejumlah desa di Bali Utara itu. Apalagi, setelah muncul di Sangsit dan Bungkulan, tanda gaib itu juga bertebaran di pelinggih-pelinggih di kota Singaraja dan Seririt. Di Singaraja, sejumlah pelinggih di areal Mapolres Buleleng juga tak luput dari goresan tanda gaib. Anehnya lagi, dua pelinggih di Polres Buleleng yang terkena goresan itu adalah pelinggih yang lokasinya berdampingan dengan pos jaga Satlantas di sebelah utara dan pos SPK di sebelah selatan.
''Logikanya tak mungkin ada orang yang berani masuk ke areal Polres, lalu menorehkan goresan putih di pelinggih. Apalagi pelinggih-nya itu tak mungkin luput dari pengawasan kami, karena berada tepat di depan pos jaga yang dijaga 24 jam,'' kata seorang petugas Satlantas Polres Buleleng. 
 
Di Seririt 
Di Seririt, tanda gaib itu menggegerkan warga pada Kamis (17/2) malam. Tanda gaib itu muncul pada pelinggih-pelinggih di wilayah Kalanganyar, Tegallenge, Petemon dan sekitarnya. Seorang warga dari Kalanganyar, Wisnu, menceritakan tanda-tanda gaib itu hampir menghiasi seluruh pelinggih merajan, pura, penunggun karang dan pelinggih lain di desanya. Bahkan yang aneh, ada pelinggih yang sangat keramat dan selalu diselimuti saput poleng juga tak luput dari torehan tanda gaib itu. ''Lebih aneh lagi, goresan itu berada di balik saput pelinggih,'' kata Wisnu.
 
Wisnu menuturkan, goresan putih seperti pamor itu coraknya berbeda-beda antara satu desa dengan desa lainnya. Di Kalanganyar, goresan itu coraknya garis horizontal sejajar sebanyak tiga buah. Dua goresan warnanya putih, satu goresan paling bawah warna hitam. Sementara di desa lain goresannya ada yang berbentuk tapak dara tanpa warna hitam. Atau ada juga goresannya hanya satu, atau dua, tanpa disertai warna hitam. ''Setelah menyaksikan munculnya tanda gaib itu, kami secara spontan melakukan persembahyangan,'' kata Wisnu.
 
Seorang warga dari Seririt, Sugiarta, mengatakan keyakinan bahwa goresan itu bukan dikerjakan oleh manusia. Secara logika, goresan itu dilakukan scara cepat dalam semalam di sejumlah desa di Buleleng. ''Pasukan apa yang bisa mengerjakan hal itu dalam semalam,'' katanya.
Menurutnya, goresan itu merupakan pertanda untuk melindungi jagat Bali dari kemungkinan bencana dan sejenisnya. Istilahnya, kata Sugiarta, wong samar itu ngider bhuana untuk memberikan perlindungan.
Sementara itu, jajaran Polres Buleleng tak mau tinggal diam dalam menyikapi keresahan masyarakat akibat munculnya tanda gaib tersebut. Jumat kemarin, petugas mengambil sampel goresan untuk diteliti di Lab Forensik Polda Bali. ''Kami mengambil sampel goresan itu untuk diteliti, agar warga mengetahui tentang kejelasan bahan yang digunakan menggores pelinggih mereka,'' kata Satreskrim Polres Buleleng AKP Dewa Putu Arta.
Sampel yang diambil petugas polisi adalah bahan goresan yang terdapat pada pelinggih di Polres Buleleng dan sampel yang diambil dari sebuah perumahan di Sambangan, Buleleng. (kmb15)

Sumber: http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2005/2/19/b25.htm

Minggu, 13 Februari 2011

Dari Dunia ''Wayang'' sampai ''Telenovela'' (Sebuah Refleksi Budaya Massa dan Budaya Populer Kekinian )

Dari Dunia ''Wayang'' sampai ''Telenovela''Sebuah Refleksi Budaya Massa dan Budaya Populer Kekinian

''Dari semua tirani yang dialami umat manusia
Penindasan pikiran adalah hal yang paling buruk''
(John Dryden, penyair dan kritikus Inggris, 1631-1700)

''KETIKA orang-orang tidak lagi mengikuti aturan yang ada, norma-norma hidup disingkirkan, dan kedamaian bukan lagi menjadi proses dan tujuan hidup maka pada saat itulah hari kiamat akan datang''. Begitu kira-kira deretan kata yang sering kudengar semasa aku kecil di antara orang-orang bersahaja di dusun tempat kelahiranku. Kini aku telah mengenal waktu, kutahu dunia masa kecilku telah berubah, seiring umurku yang dijejali bayangan garis-garis bumi, yang membujur dari utara sampai selatan dan melintang dari timur sampai barat, dan aku sudah bergerak mengikuti bujur dan melintasi lintang walaupun tidak lebih sepuluh derajat ke atas-bawah dan ke kanan-kiri dalam peta bumi ini. Sehingga makin ingin kupahami arti sebuah pertanyaan ''apakah dunia memang akan kiamat''?

Garis bumi telah memberi corak khas budaya suatu masyarakat dalam sebuah panggung peradaban yang mengisi ruang dan waktu perjalanan bumi. Kita tidak tahu kapan ini akan terus terjadi? Ataukah kapan ini akan berakhir? Kita telah berada dalam batas-batas ''pencairan'' dan ''penantian'' sebuah perjalanan. Segala yang ada selalu dihubungkan dengan panutan-panutan, tanda-tanda, pembenaran-pembenaran, dan aturan-aturan sampai pada tingkatan dasar sebuah pemikiran. Apakah ini sebagai ''inti sari'' daya pikir manusia kekinian, yang terus berotasi dari manusia berburu dan meramu yang nomaden sampai pembabakan sejarah renaisance? Setidaknya kita telah mendengar dan melakoni dua sisi kehidupan, mulai dari cerita wayang Rama Shinta atau Mahabarata sampai kisah telenovela Betty La Fea, dari cerita Bawang Putih dan Bawang Merah sampai cerita Meteor Garden (cerita yang diangkat dari komik Jepang), yang akhirnya pada sampai pembentukan domain karakter berpikir masyarakat dewasa ini.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan warna dalam perjalanan umat manusia. Adanya televisi, tape (CD), video film (VCD), iklan, playstation, dunia handphone, shopping mall, video game, kartun, komik, pusat kebugaran, kursus kecantikan, cat rambut, operasi plastik, alis palsu, peninggi tubuh, payudara silikon, facial cream, body building, salon mobil sampai senam seks dan sederet ikon gaya hidup adalah kosa kata baru dalam peradaban sebuah budaya. Yang oleh McDonald disebut dengan istilah budaya massa dan budaya populer. Beliau menyatakan bahwa ''Budaya rakyat tumbuh dari bawah. Ia adalah ekspresi otonom dan spontan rakyat yang dibuat oleh mereka sendiri, tanpa pengaruh budaya tinggi, untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Budaya massa sebenarnya ditumbuhkan dari atas. Ia diproduksi oleh tenaga-tenaga teknis yang dipekerjakan oleh produsen: khalayaknya adalah konsumer-konsumer pasif, dimana partisipasi mereka terbatas pada pilihan membeli atau tidak membeli. Budaya rakyat adalah milik rakyat sendiri, kebun mungil pribadi mereka yang dipisahkan dari kebun besar Budaya Tinggi. Namun budaya massa merobohkan dinding pemisah ini, menyatukan massa ke dalam budaya tinggi yang telah diturunkan statusnya dan kemudian menjelma menjadi instrumen dominasi politik (MacDonald, 1957; 60)''. 

Senada dengan MacDonald, Leo Lowenthal, seorang tokoh mahzab Frankfurt generasi kedua dikutip Dominic Strinati dalam bukunya ''An Introduction to Theories of Popular Culture'' (1995), juga menyatakan bahwa sejarah budaya massa dan budaya populer setidaknya dapat dilacak semenjak era ''Roti dan Sirkus'' dalam massa kekaisaran Romawi. Budaya masa dan budaya populer pada saat itu muncul dalam bentuk pelbagai permainan, olahraga dan pesta rakyat yang diselenggarakan tiap tahun untuk seluruh penduduk Roma. Ia bersifat massal dan populer karena tidak hanya terbatas bagi kalangan keluarga kekaisaran Romawi. Budaya massa dan budaya populer kemudian makin berkembang dengan awal kebangkitan era ekonomi pasar pada abad ke-17 M. Dalam sisi yang berbeda, hal ini bisa kita lihat dalam konteks dinamika kebudayaan Bali kekinian, ciri dan bentuk berkembangnya budaya massa dan budaya populer, seperti adanya permainan layang-layang yang sampai pada tingkat legitimasi simbol komunitas tertentu (seperti ''desa adat'' atau ''desa administratif'') dan adanya penyelenggaraan pestanya rakyat Bali, Pesta Kebudayaan Bali (PKB) tiap tahun, yang tentunya diperuntukkan untuk segala kalangan.

Dalam perspektif yang berbeda, ekses nyata akan berkembangnya budaya massa dan budaya populer yang terjadi dewasa ini di Bali memberikan cermin bagaimana aspek budaya masyarakat telah diseret dalam ruang ekonomi politik kapitalisme yang dikemas oleh romantisme kekuasaan birokrasi dengan tuntutan prinsip kemajuan, keuntungan dan perluasan produksi sebagai bentuk adanya budaya massa dan budaya populer di masyarakat Bali kekinian. Artinya bahwa budaya masa dipahami sebagai budaya populer yang diproduksi melalui teknik produksi masal dan diproduksi demi keuntungan semata. Budaya massa adalah budaya komersial, produk massal untuk pasar masal. Budaya massa, dengan demikian tidak lain dari metamoforsa komoditi dalam bentuknya yang lebih canggih, lebih halus dan lebih memikat (Strinati, 1995: 10). Sementara itu budaya populer adalah sebuah kategori bagi budaya rendah (lowbrow culture) yang biasa dibedakan dengan budaya tinggi (gihbrow culture). Budaya populer, atau dalam pengertian awalnya biasa disebut budaya rakyat (folk culture), lahir dari bawah, dari rakyat kebanyakan, sementara budaya tinggi, dibentuk dari atas, dari kalangan aristokrat. Budaya populer ditandai oleh sifatnya yang massal, terbuka untuk siapa pun dan lebih mengakar kepada khalayal pemiliknya. Sementara budaya tinggi dicirikan oleh sifatnya yang khusus dan tertutup, terbatas bagi kalangan tertentu dan tidak mengakar ke bawah (Strinati, 1995: 10).

Namun di sisi lain sesuai dengan karakter budaya massa, masyarakat mulai mengenal cara berpikir efesien dan efektif yang semu dan tanpa kritis. Ini akan melahirkan bentuk akumulasi berpikir destruktif yang tidak disadari secara nyata oleh masyarakat di sisi lain. Dengan segala bentuk informasi yang diterima dari segala bentuk media yang ada, sehingga masyarakat mulai berpikir tentang kemudahan dan percepatan. Segala bentuk relasi (kooperatif nonalamiah) mulai dikepakan, kompetisi semu mulai diterapkan, individualisme keluarga atau golongan pun makin ditonjolkan demi untuk mencapai kemaksimalan harapan dan tujuan.

Dalam kenyataannya, ketika penampilan menjadi tujuan, maka masyarakat mulai terjebak dalam rutinitas kerja yang semu, meninggalkan bentuk kualitas yang hakiki dalam kehidupan manusia, dimana kerja sama mulai ditinggalkan, interaksi antar individu sudah digantikan dengan media elektronik, seperti adanya media internet (e-mail) atau handphone yang membuat batas dunia makin dekat dan kabur, sehingga apapun itu telah menjadi mudah dan cepat. Tanpa disadari telah menghilangkan arti hakiki kemanusiaan (lose of humanism) dalam konteks makhluk sosial.

Pada negara dunia ketiga dewasa ini, masyarakat akhirnya hanya menjadi objek sebuah perubahan dengan pengatasnamaan pembangunan yang berkelanjutan, berkeadilan sosial dan kata-kata kias demi ''kemakmuran'' yang lain. Budaya konsumerisme mulai ada dan hidup di masyarakat, sebagai korban manipulasi dan bujukan yang ada di media massa dalam bentuk iklan ataukah sajian gaya hidup dalam dunia film, sinetron, sampai telenovela. Sehingga membingkai individu-individu untuk tunduk dengan hasrat untuk membeli dan membeli tanpa harus tahu bagaimana untuk membuat dan menjual secara kritis.

Dalam konteks manusia Bali kekinian misalnya, pulau yang menjadi lahan para wisatawan untuk berekreasi menjadikan Bali dikenal sebagai salah satu daerah tujuan pariwisata di dunia. Budaya yang unik dan relegius yang dimiliki telah menjadikan Bali dikenal di seluruh dunia, dan masyarakat pun mendapat imbas walaupun itu tidak sebanding dengan apa yang terjadi dengan eksistensi dan esensi pulau Bali. Penyerapan budaya asing secara langsung diterima oleh masyarakat Bali khususnya budaya meniru dan membeli pun telah melanda karakter manusia Bali kekinian. Seiring dengan itu, muncullah keberadaan masyarakat pendatang (urbanisasi), bahwa dengan segala bentuk industri pariwisata yang ada telah mengundang ketertarikan masyarakat desa dari Bali maupun luar Bali untuk mencari pekerjaan di daerah pusat pariwisata.

Hal menarik dan sangat mencemaskan dari segala dampak pengatasnamaan ''efektivitas dan efisiensi yang semu'', adalah hilangnya esensi dasar nilai-nilai budaya Bali. Hal ini terlihat dalam sederet fenomena budaya yang terjadi, seperti: ketika pedagang ''canang sari'' (sesajen sebagai ''media'' dalam upacara ritual umat Hindu) bukan lagi dijual oleh orang Bali (umat Hindu), pembuat ''patung Bali'' bukan lagi di buat oleh orang Bali, kepedulian hakiki dalam penguasaan nilai ''bahasa Bali'' dalam masyarakat yang kian menghilang sehingga anak-anak tidak lagi diajar untuk berkomunikasi dengan ''bahasa ibu'' tetapi lebih mendoktrinkan bahasa umum yang semu tanpa memperdulikan karakter atau unsur suatu kebudayaan sebagai corak yang mewarnai esensi sebuah peradaban yang wajib dijiwai, atau ketika melihat lahan ''sistem subak'' sudah tidak ada lagi, yang diganti dengan keberadaan mal-mal, rumah dan toko (ruko) atau rukan (rumah dan kantor), kantor-kantor perumahan dan jalan-jalan sehingga sistem pengairan yang sudah diwariskan dari dulu menjadi hilang terutama di daerah-daerah perkotaan. Hal ini mencirikan bagaimana masyarakat sudah mengutamakan efektifitas dan efisiensi yang mematikan nilai kreasi penciptaan unsur budaya dalam masyarakat oleh kemanjaan yang kian berlarut dalam dinamika kebudayaan yang makin ditinggalkan oleh pendukungnya.

Seiring dengan segala perubahan yang ada, slogan-slogan ''pengeforia-an'' untuk masyarakat Bali seperti: ''Bali Pulau Dewata'', Bali Pulau Surga'', atau ''Bali Pulau Seribu Dewa'', mungkin bisa kita tambahkan dengan ''Bali Seribu Ruko?'', atau ''Bali Seribu Cafe?'', ataukah ''Bali Seribu Rental?'' dan ataukah ''Bali Seribu Hotel?''
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah ini sebagai akibat hilangnya pendukung kebudayaan Bali? Tentu jawabannya 'ya' jika dilihat dari sisi kualitas pemahaman terhadap kultur oleh subjek pendukung kebudayaan sudah mulai menghilang, dan jawabannya bisa ''tidak'' jika dilihat dari sisi kuantitas kebudayaan. Artinya bahwa pemahaman yang dimiliki oleh pendukung kebudayaan sudah menjadi kabur sebagai akibat proses pemaknaan regenerasi budaya yang tidak terkonsolidasi secara matang dan juga karena adanya proses kooftasi karakter atau cara berpikir masyarakat oleh budaya barat yang selalu dirasa 'wahhh....'', atau ''uuh...'', dan ataukah ''ohh...god'' oleh masyarakat Bali khususnya. Sehingga bisa dikatakan manusia ''Bali kekinian'' tidaklah sama dengan manusia ''Bali dulu'' yang saling menjiwai dengan wujud dan unsur kebudayaannya. Sebagai refleksi bisa saja hal ini kita katakan sebagai bentuk perubahan yang tidak ''biasa'', artinya bahwa arah kewajaran suatu proses perubahan tidak lagi berurutan dari 1 ke-2 dan seterusnya, tapi proses perubahan terjadi dari 1 langsung menjadi 5.

Ini terlihat pada pijakan hidup masyarakat Bali sudah mulai meninggalkan petuah-petuah yang ada di kisah pewayangan, seperti sabda seorang tokoh ''Kresna'' yang bisa mendamaikan hati ataukah tokoh ''Tualen'' (tua ane len; orang tua yang lain daripada yang lain) seorang penasehat yang bijaksana. Namun sudah beralih bagaimana mengadopsi liku-liku kehidupan gemerlap yang ada di sinetron-sinetron ataukah di telenovela-telenovela yang disuguhkan melalui media televisi, baik stasiun swasta maupun negeri yang ada di Indonesia, yang dewasa ini sangat digandrungi oleh masyarakat kita, terutama ibu-ibu rumah tangga dan pembantu rumah tangga, yang sebagai subjek pemberi tatanan moral yang utama dalam sebuah keluarga selain sang ayah. Mungkin ini sebagai wujud hasil analogi atau logika terbalik masyarakat tentang sebuah arti ''kemakmuran'', ataukah karakter masyarakat yang ''parental'' sudah akan berganti ciri seperti ciri awal sebuah peradaban manusia menjadi ''promischuetet'', yang mulai barbar dan liar? Ataukah inikah yang dimaksud dengan dunia kiamat oleh orang-orang bersahaja di dusunku?

''Bagaimanapun juga, saya kira, kita harus mengakui bahwa manusia dengan segala nilai-nilainya yang luhur... di dalam kerangka jasmaninya masih memiliki cap yang tak terhapuskan dari nenek moyang yang lebih rendah tingkatannya''(Charles Robert Darwin, 1809-1882).

Putu Wisnu Nugraha
Alumni Antropologi Budaya Universitas Udayana, tinggal di Denpasar.
(dipublikasikan Bali Post, Minggu 15 September 2002)