Minggu, 13 Februari 2011

Dari Dunia ''Wayang'' sampai ''Telenovela'' (Sebuah Refleksi Budaya Massa dan Budaya Populer Kekinian )

Dari Dunia ''Wayang'' sampai ''Telenovela''Sebuah Refleksi Budaya Massa dan Budaya Populer Kekinian

''Dari semua tirani yang dialami umat manusia
Penindasan pikiran adalah hal yang paling buruk''
(John Dryden, penyair dan kritikus Inggris, 1631-1700)

''KETIKA orang-orang tidak lagi mengikuti aturan yang ada, norma-norma hidup disingkirkan, dan kedamaian bukan lagi menjadi proses dan tujuan hidup maka pada saat itulah hari kiamat akan datang''. Begitu kira-kira deretan kata yang sering kudengar semasa aku kecil di antara orang-orang bersahaja di dusun tempat kelahiranku. Kini aku telah mengenal waktu, kutahu dunia masa kecilku telah berubah, seiring umurku yang dijejali bayangan garis-garis bumi, yang membujur dari utara sampai selatan dan melintang dari timur sampai barat, dan aku sudah bergerak mengikuti bujur dan melintasi lintang walaupun tidak lebih sepuluh derajat ke atas-bawah dan ke kanan-kiri dalam peta bumi ini. Sehingga makin ingin kupahami arti sebuah pertanyaan ''apakah dunia memang akan kiamat''?

Garis bumi telah memberi corak khas budaya suatu masyarakat dalam sebuah panggung peradaban yang mengisi ruang dan waktu perjalanan bumi. Kita tidak tahu kapan ini akan terus terjadi? Ataukah kapan ini akan berakhir? Kita telah berada dalam batas-batas ''pencairan'' dan ''penantian'' sebuah perjalanan. Segala yang ada selalu dihubungkan dengan panutan-panutan, tanda-tanda, pembenaran-pembenaran, dan aturan-aturan sampai pada tingkatan dasar sebuah pemikiran. Apakah ini sebagai ''inti sari'' daya pikir manusia kekinian, yang terus berotasi dari manusia berburu dan meramu yang nomaden sampai pembabakan sejarah renaisance? Setidaknya kita telah mendengar dan melakoni dua sisi kehidupan, mulai dari cerita wayang Rama Shinta atau Mahabarata sampai kisah telenovela Betty La Fea, dari cerita Bawang Putih dan Bawang Merah sampai cerita Meteor Garden (cerita yang diangkat dari komik Jepang), yang akhirnya pada sampai pembentukan domain karakter berpikir masyarakat dewasa ini.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan warna dalam perjalanan umat manusia. Adanya televisi, tape (CD), video film (VCD), iklan, playstation, dunia handphone, shopping mall, video game, kartun, komik, pusat kebugaran, kursus kecantikan, cat rambut, operasi plastik, alis palsu, peninggi tubuh, payudara silikon, facial cream, body building, salon mobil sampai senam seks dan sederet ikon gaya hidup adalah kosa kata baru dalam peradaban sebuah budaya. Yang oleh McDonald disebut dengan istilah budaya massa dan budaya populer. Beliau menyatakan bahwa ''Budaya rakyat tumbuh dari bawah. Ia adalah ekspresi otonom dan spontan rakyat yang dibuat oleh mereka sendiri, tanpa pengaruh budaya tinggi, untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Budaya massa sebenarnya ditumbuhkan dari atas. Ia diproduksi oleh tenaga-tenaga teknis yang dipekerjakan oleh produsen: khalayaknya adalah konsumer-konsumer pasif, dimana partisipasi mereka terbatas pada pilihan membeli atau tidak membeli. Budaya rakyat adalah milik rakyat sendiri, kebun mungil pribadi mereka yang dipisahkan dari kebun besar Budaya Tinggi. Namun budaya massa merobohkan dinding pemisah ini, menyatukan massa ke dalam budaya tinggi yang telah diturunkan statusnya dan kemudian menjelma menjadi instrumen dominasi politik (MacDonald, 1957; 60)''. 

Senada dengan MacDonald, Leo Lowenthal, seorang tokoh mahzab Frankfurt generasi kedua dikutip Dominic Strinati dalam bukunya ''An Introduction to Theories of Popular Culture'' (1995), juga menyatakan bahwa sejarah budaya massa dan budaya populer setidaknya dapat dilacak semenjak era ''Roti dan Sirkus'' dalam massa kekaisaran Romawi. Budaya masa dan budaya populer pada saat itu muncul dalam bentuk pelbagai permainan, olahraga dan pesta rakyat yang diselenggarakan tiap tahun untuk seluruh penduduk Roma. Ia bersifat massal dan populer karena tidak hanya terbatas bagi kalangan keluarga kekaisaran Romawi. Budaya massa dan budaya populer kemudian makin berkembang dengan awal kebangkitan era ekonomi pasar pada abad ke-17 M. Dalam sisi yang berbeda, hal ini bisa kita lihat dalam konteks dinamika kebudayaan Bali kekinian, ciri dan bentuk berkembangnya budaya massa dan budaya populer, seperti adanya permainan layang-layang yang sampai pada tingkat legitimasi simbol komunitas tertentu (seperti ''desa adat'' atau ''desa administratif'') dan adanya penyelenggaraan pestanya rakyat Bali, Pesta Kebudayaan Bali (PKB) tiap tahun, yang tentunya diperuntukkan untuk segala kalangan.

Dalam perspektif yang berbeda, ekses nyata akan berkembangnya budaya massa dan budaya populer yang terjadi dewasa ini di Bali memberikan cermin bagaimana aspek budaya masyarakat telah diseret dalam ruang ekonomi politik kapitalisme yang dikemas oleh romantisme kekuasaan birokrasi dengan tuntutan prinsip kemajuan, keuntungan dan perluasan produksi sebagai bentuk adanya budaya massa dan budaya populer di masyarakat Bali kekinian. Artinya bahwa budaya masa dipahami sebagai budaya populer yang diproduksi melalui teknik produksi masal dan diproduksi demi keuntungan semata. Budaya massa adalah budaya komersial, produk massal untuk pasar masal. Budaya massa, dengan demikian tidak lain dari metamoforsa komoditi dalam bentuknya yang lebih canggih, lebih halus dan lebih memikat (Strinati, 1995: 10). Sementara itu budaya populer adalah sebuah kategori bagi budaya rendah (lowbrow culture) yang biasa dibedakan dengan budaya tinggi (gihbrow culture). Budaya populer, atau dalam pengertian awalnya biasa disebut budaya rakyat (folk culture), lahir dari bawah, dari rakyat kebanyakan, sementara budaya tinggi, dibentuk dari atas, dari kalangan aristokrat. Budaya populer ditandai oleh sifatnya yang massal, terbuka untuk siapa pun dan lebih mengakar kepada khalayal pemiliknya. Sementara budaya tinggi dicirikan oleh sifatnya yang khusus dan tertutup, terbatas bagi kalangan tertentu dan tidak mengakar ke bawah (Strinati, 1995: 10).

Namun di sisi lain sesuai dengan karakter budaya massa, masyarakat mulai mengenal cara berpikir efesien dan efektif yang semu dan tanpa kritis. Ini akan melahirkan bentuk akumulasi berpikir destruktif yang tidak disadari secara nyata oleh masyarakat di sisi lain. Dengan segala bentuk informasi yang diterima dari segala bentuk media yang ada, sehingga masyarakat mulai berpikir tentang kemudahan dan percepatan. Segala bentuk relasi (kooperatif nonalamiah) mulai dikepakan, kompetisi semu mulai diterapkan, individualisme keluarga atau golongan pun makin ditonjolkan demi untuk mencapai kemaksimalan harapan dan tujuan.

Dalam kenyataannya, ketika penampilan menjadi tujuan, maka masyarakat mulai terjebak dalam rutinitas kerja yang semu, meninggalkan bentuk kualitas yang hakiki dalam kehidupan manusia, dimana kerja sama mulai ditinggalkan, interaksi antar individu sudah digantikan dengan media elektronik, seperti adanya media internet (e-mail) atau handphone yang membuat batas dunia makin dekat dan kabur, sehingga apapun itu telah menjadi mudah dan cepat. Tanpa disadari telah menghilangkan arti hakiki kemanusiaan (lose of humanism) dalam konteks makhluk sosial.

Pada negara dunia ketiga dewasa ini, masyarakat akhirnya hanya menjadi objek sebuah perubahan dengan pengatasnamaan pembangunan yang berkelanjutan, berkeadilan sosial dan kata-kata kias demi ''kemakmuran'' yang lain. Budaya konsumerisme mulai ada dan hidup di masyarakat, sebagai korban manipulasi dan bujukan yang ada di media massa dalam bentuk iklan ataukah sajian gaya hidup dalam dunia film, sinetron, sampai telenovela. Sehingga membingkai individu-individu untuk tunduk dengan hasrat untuk membeli dan membeli tanpa harus tahu bagaimana untuk membuat dan menjual secara kritis.

Dalam konteks manusia Bali kekinian misalnya, pulau yang menjadi lahan para wisatawan untuk berekreasi menjadikan Bali dikenal sebagai salah satu daerah tujuan pariwisata di dunia. Budaya yang unik dan relegius yang dimiliki telah menjadikan Bali dikenal di seluruh dunia, dan masyarakat pun mendapat imbas walaupun itu tidak sebanding dengan apa yang terjadi dengan eksistensi dan esensi pulau Bali. Penyerapan budaya asing secara langsung diterima oleh masyarakat Bali khususnya budaya meniru dan membeli pun telah melanda karakter manusia Bali kekinian. Seiring dengan itu, muncullah keberadaan masyarakat pendatang (urbanisasi), bahwa dengan segala bentuk industri pariwisata yang ada telah mengundang ketertarikan masyarakat desa dari Bali maupun luar Bali untuk mencari pekerjaan di daerah pusat pariwisata.

Hal menarik dan sangat mencemaskan dari segala dampak pengatasnamaan ''efektivitas dan efisiensi yang semu'', adalah hilangnya esensi dasar nilai-nilai budaya Bali. Hal ini terlihat dalam sederet fenomena budaya yang terjadi, seperti: ketika pedagang ''canang sari'' (sesajen sebagai ''media'' dalam upacara ritual umat Hindu) bukan lagi dijual oleh orang Bali (umat Hindu), pembuat ''patung Bali'' bukan lagi di buat oleh orang Bali, kepedulian hakiki dalam penguasaan nilai ''bahasa Bali'' dalam masyarakat yang kian menghilang sehingga anak-anak tidak lagi diajar untuk berkomunikasi dengan ''bahasa ibu'' tetapi lebih mendoktrinkan bahasa umum yang semu tanpa memperdulikan karakter atau unsur suatu kebudayaan sebagai corak yang mewarnai esensi sebuah peradaban yang wajib dijiwai, atau ketika melihat lahan ''sistem subak'' sudah tidak ada lagi, yang diganti dengan keberadaan mal-mal, rumah dan toko (ruko) atau rukan (rumah dan kantor), kantor-kantor perumahan dan jalan-jalan sehingga sistem pengairan yang sudah diwariskan dari dulu menjadi hilang terutama di daerah-daerah perkotaan. Hal ini mencirikan bagaimana masyarakat sudah mengutamakan efektifitas dan efisiensi yang mematikan nilai kreasi penciptaan unsur budaya dalam masyarakat oleh kemanjaan yang kian berlarut dalam dinamika kebudayaan yang makin ditinggalkan oleh pendukungnya.

Seiring dengan segala perubahan yang ada, slogan-slogan ''pengeforia-an'' untuk masyarakat Bali seperti: ''Bali Pulau Dewata'', Bali Pulau Surga'', atau ''Bali Pulau Seribu Dewa'', mungkin bisa kita tambahkan dengan ''Bali Seribu Ruko?'', atau ''Bali Seribu Cafe?'', ataukah ''Bali Seribu Rental?'' dan ataukah ''Bali Seribu Hotel?''
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah ini sebagai akibat hilangnya pendukung kebudayaan Bali? Tentu jawabannya 'ya' jika dilihat dari sisi kualitas pemahaman terhadap kultur oleh subjek pendukung kebudayaan sudah mulai menghilang, dan jawabannya bisa ''tidak'' jika dilihat dari sisi kuantitas kebudayaan. Artinya bahwa pemahaman yang dimiliki oleh pendukung kebudayaan sudah menjadi kabur sebagai akibat proses pemaknaan regenerasi budaya yang tidak terkonsolidasi secara matang dan juga karena adanya proses kooftasi karakter atau cara berpikir masyarakat oleh budaya barat yang selalu dirasa 'wahhh....'', atau ''uuh...'', dan ataukah ''ohh...god'' oleh masyarakat Bali khususnya. Sehingga bisa dikatakan manusia ''Bali kekinian'' tidaklah sama dengan manusia ''Bali dulu'' yang saling menjiwai dengan wujud dan unsur kebudayaannya. Sebagai refleksi bisa saja hal ini kita katakan sebagai bentuk perubahan yang tidak ''biasa'', artinya bahwa arah kewajaran suatu proses perubahan tidak lagi berurutan dari 1 ke-2 dan seterusnya, tapi proses perubahan terjadi dari 1 langsung menjadi 5.

Ini terlihat pada pijakan hidup masyarakat Bali sudah mulai meninggalkan petuah-petuah yang ada di kisah pewayangan, seperti sabda seorang tokoh ''Kresna'' yang bisa mendamaikan hati ataukah tokoh ''Tualen'' (tua ane len; orang tua yang lain daripada yang lain) seorang penasehat yang bijaksana. Namun sudah beralih bagaimana mengadopsi liku-liku kehidupan gemerlap yang ada di sinetron-sinetron ataukah di telenovela-telenovela yang disuguhkan melalui media televisi, baik stasiun swasta maupun negeri yang ada di Indonesia, yang dewasa ini sangat digandrungi oleh masyarakat kita, terutama ibu-ibu rumah tangga dan pembantu rumah tangga, yang sebagai subjek pemberi tatanan moral yang utama dalam sebuah keluarga selain sang ayah. Mungkin ini sebagai wujud hasil analogi atau logika terbalik masyarakat tentang sebuah arti ''kemakmuran'', ataukah karakter masyarakat yang ''parental'' sudah akan berganti ciri seperti ciri awal sebuah peradaban manusia menjadi ''promischuetet'', yang mulai barbar dan liar? Ataukah inikah yang dimaksud dengan dunia kiamat oleh orang-orang bersahaja di dusunku?

''Bagaimanapun juga, saya kira, kita harus mengakui bahwa manusia dengan segala nilai-nilainya yang luhur... di dalam kerangka jasmaninya masih memiliki cap yang tak terhapuskan dari nenek moyang yang lebih rendah tingkatannya''(Charles Robert Darwin, 1809-1882).

Putu Wisnu Nugraha
Alumni Antropologi Budaya Universitas Udayana, tinggal di Denpasar.
(dipublikasikan Bali Post, Minggu 15 September 2002)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar